Rindu yang
Ditakdirkan-Nya
Malam yang tenang.
Berteman cahaya bintang dan bulan.
Pena ini terus berjalan.
Menorehkan tinta hitam di atas lembaran putih.
Seulas senyum aku torehkan.
Teringat sosok sahabat yang mengingatkanku pada
indahnya bintang.
Sahabat yang mengajariku banyak hal.
Sahabat yang menjagaku.
Sahabat yang kini aku tak tau bagaimana kabarnya.
Sahabat yang kini telah begitu jauh.
Iya, sahabat kini telah pergi..
Jemari-jemari
Kiran begitu lancar mengulas aksara di atas kertas putih. Dalam wajahnya
tersirat kerinduan yang dalam, juga keikhlasan yang membahagiakan. Sejanak ia
berhenti menorehkan tinta, ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.
Air matanya ada di perbatasan, selangkah lagi ia melangkah, ia akan terjun di
atas pipi lembut Kiran.
Bersama bintang aku tersenyum.
Bersama rembulan aku bahagia.
Meski aku tak tau kemana perginya.
Tapi aku juga ingat dirinya telah memberi warna dalam
hidupku.
Pernah aku mencarinya.
Sering bahkan.
Tapi kau tau apa yang diucapkannya?
Dia berucap, “aku bukan lagi sahabatmu.”
Sukses! Memori
yang ia putar telah sukses membuatnya lag-lagi menurunkan air matanya. Ia tak
tau apa salahnya. Sahabatnya tak pernah memberi tahu apa alasan dia perfi.
Sakit..
Kau tahu? Perkataannya membuat tubuhku seakan-akan tak
kuat berdiri.
Tapi apa kau juga tahu?
Aku bahagia dengan itu.
Aku torehkan senyum dihadapannya.
Kau tahu apa yang membuatku bahagia?
Dia..
Dia yang dengan lega mengucap aku bukan lagi
sahabatnya.
Dia yang dalam wajahnya tersimpan rona bahagia untuk
tidak lagi menjadi sahabatku.
Ya dia bahagia..
Sehingga aku pun bahagia.
Lagi-lagi senyum itu ku torehkan.
Bersama guratan pena di atas dirimu, duhai lembar
putih.
Kiran
menyeka air matanya. Ia menutup diari hijau tuanya dengan senyum yang masih
menemaninya. Rasa rindu yang awalnya tak bisa tertahan, kini semua telah tumpah
pada sebuah diari hijau tua. Lalu ia menatap langit.
“Ya Allah.. tolong jaga sahabatku disana.” Lirihnya
pelan.
***
Surat-surat
lusuh itu berjejer di dinding-dinding kamar Kiran. Warnanya menguning, umurnya
cukup tua.
“Kamu masih
menyimpan ini, Kiran?”
“Iya, An. Bagaimanapun
dia sahabatku.”
“Sebegitu
mudahnya kamu berucap dia sahabat, padahal dirinya begitu mudah mengucap kamu
musuh.”
“Bukan
musuh Ani, dia hanya tidak menganggapku sahabatnya lagi.”
“Ah,
terserah kamu saja lah.”
Ani,
sepupunya yang telah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Mereka sering
bersama, suka dan duka pun mereka bersama.
“Bagaimana
jika kamu bertemu dengannya?.”
“Aku.. aku
hanya akan tersenyum saja. Dia mengucap aku bukan sahabatnya ketika dia masih
bocah, An. Sekarang kami sudah dewasa. Tak pantas lagi saling bertengkar
seperti dulu.”
“Bocah? Usia
15 tahun kamu bilang bocah? Bocah yang seperti apa, Ran? Bocah ingusan atau
bocah yang sudah mengerti banyak hal seperti apa yang dimengerti oleh para
orang dewasa?”
“Ah, Anggap
saja bocah ingusan.”
“Kamu masih
saja menghindar dari kenyataan.”
Kiran hanya
diam tak bergeming. Ia merasa apa yang diucapkan sahabatnya benar. Ya, benar. Dia
selalu menghindar dari kenyataan bahwa sahabat yang meninggalkannya dulu adalah
sahabat yang sudah mengerti banyak hal, bukan seorang sahabat yang bocah
ingusan.
“Besok aku
mau ke gramedia, kamu mau ikut?”
“Tentu. Ah,
kamu tau sendiri aku suka membaca buku, Kiran!”
“Baiklah. Pulang
sekolah besok kita langsung ke gramed, oke?”
“Siap,
Kiran!”
***
“Kiran,
lihat buku ini sepertinya bagus sekali. Ah banyak sekali buku yang bagus.” Ujar
Ani yang di tangannya telah bertumpuk beberapa buku.
“Ani, sudah
banyak buku yang ada di tanganmu, apa kamu akan membeli buku yang lain lagi?”
Ani tak
menjawab, ia sibuk mencari-cari buku lain untuk dibelinya.
“Ani, udah
cukup buku ini saja dulu. Jika sudah selesai membaca kamu boleh beli buku yang
lain.”
“Kiran, aku
hanya akan mencari satu buku lagi. Jadi lengkap aku beli 10 buku.”
“Ah
terserah kamu saja. Cepatlah, aku menunggumu di kasir.”
“Tidak,
Kiran. Kau harus membantuku membawa buku-buku ini.”
“Ah,
baiklah.. baiklah.”
Usai mereka
membayar semua buku yang dibeli, mereka segera pulang ke rumah. Namun langkah
mereka terhenti, Kiran melupakan satu buku untuk dibeli. Dia kembali ke
gramedia dan langsung mencari buku yang ia cari.
“Ini dia!.”
Ujar Kiran senang.
“Kiran?”
Ujar sosok lelaki yang mengahampiri Kiran.
Kiran menoleh
ke arah lelaki itu. Dia terperanjat melihatnya.
“Kamu masih
mengingatku, Kiran?”
“Ya..
tentu.. tentu aku masih mengingatmu.”
“Mau bicara
sebentar bersamaku?”
“Tidak, aku
harus pergi. Lain waktu saja, Rey.”
Kiran
beringsut secepat kilat. Rey mengejarnya. Entah apa yang membuat lelaki itu
mengejar Kiran. Di wajahnya tersirat ada hal penting yang ingin disampaikannya.
Mengetahui Rey mengejar Kiran, ia semakin mempercepat langkahnya. Ia segera
membayar buku yang baru dia ambil dan dia menarik tangan Ani yang sejak tadi
menunggu di depan pintu gramedia.
“Ada apa,
Kiran?”
“Kita harus
berlari secepat mungkin. Rey mengejar kita.”
“Stop,
Kiran!”
“Apa yang
kamu lakukan, Ani? Ayo kita harus terus berlari.”
“Apa yang
kamu inginkan, Kiran? Dia saudaranya, bukan? Kamu merindukannya sekian lama
tapi setelah bertemu dengan saudaranya kamu malah menghindar sekuat tenaga? Apa-apaan
ini Kiran? Ini kesempatanmu untuk bertanya mengapa adiknya meninggalkanmu. Kita
akan menunggu dia disini.”
“Mengertilah,
Ani..”
“Kamu yang
harus mengerti. Dia mengejarmu pasti karena suatu hal yang penting. Berhenti bertindak
seperti anak kecil, Kiran.”
Kiran lalu
terdiam. Dia menunduk. Bahkan dirinya snediri tak mengerti apa yang membuat dia
tak karuan. Dia bilang rindu, ikhlas, tapi ketika bertemu semua menjadi benci.
“Kiran. Aku
ingin bicara.” Ujar Rey yang berhasil menemukan jejak Kiran.
“Bicaralah.”
Ujar Ani yang kemudian mendekati Kiran. Ia memegang tangan Kiran,
menguatkannya.
“Maaf atas
ucapan adikku 3 tahun lalu. Maafkan dia, Kira. Tolong maafkan dia.”
“Rey,
selama ini aku gak tau apa salahku padanya. Bisa kau jelaskan? Aku hanya ingin
tau alasannya saja.”
“Ini alasan
dia bersikap seperti itu padamu, Ran.” Ujar Rey seraya menyerahkan surat yang
warnanya juga menguning.
Kira
membuka surat itu. Ia cukup heran dengan suar itu. Surat yang biasa dia lihat
di TV setelah seseorang melakukan pemeriksaan. Dia terperanjat ketika melihat
nama sahabatnya positif mengidap penyakit leukimia.
Air mata
Kiran menetes dengan begitu saja. Ani pun tak kuat menahan harunya.
“Rey,
pertemukan aku dengan adikmu.”
Rey hanya
mengangguk. Kiran tidak butuh penjelasan lebih banyak lagi. Dia hanya ingin
bertemu sahabatnya saat ini. Mobil jazz berwarna merah meluncur dengan cepat. Arahnya
jelas, rumah Rey!
“Ren.. ada
yang mau bertemu denganmu.”
Sosok lelaki
kurus berbaring tak berdaya di atas kasur empuk yang dibalut sprai abu-abu tua.
Kepalanya tak lagi berhias rambut hitam. Wajahnya pucat.
“Assalamu’alaykum,
Rendi.”
Rendi
membuka matanya perlahan. Samar-samar dia melihat sosok perempuan canitk berjilbab
biru, warna kesukaannya. Perlahan ia melihat wajah perempuan itu dengan jelas.
“Kiran...”
Ujarnya yang kemudian meneteskan air matanya.
“Kenapa
kamu kesini? Aku gak pantes ketemu kamu lagi.” Lanjutnya lirih.
“Apa
sahabatmu tidak pantas menjengukmu?”
“Sahabat? Siapa
yang kamu maksud sahabat?”
“Berhentilah
menyembunyikan semuanya, Rendi.” Ujar Rey kesal.
“Aku ingin
istirahat. Kalian pergilah.”
“Tapi,
Ren..”
“Sudahlah,
Kiran. Kita pergi saja. Dia bukan sahabatmu lagi. Kamu tidak pantas
menjenguknya.”
Kiran terkejut
dengan jawaban Rey, begitupun dengan Ani. Dan dengan berat hati mereka keluar
dari kamar Rendi.
“Tunggu,
kak.” Ujar Rendi kemudian.
“Kiran
bisakah kamu duduk disampingku?.” Lanjutnya lirih.
Kiran lalu
melangkah ke arah Rendi. Sedangkan Rey dan Ani menunggu di pintu kamar Rendi
yang masih tak tertutup.
Rendi
menatap Kiran lekat. Matanya mengisyaratkan seakan-akan ada perih yang
disimpannya. Dia mengambil satu surat di bawah bantalnya dan memberinya pada
Kiran. Kiran tak mengerti surat apa yang dia berikan.
“Semua
pertanyaanmu akan terjawab dalam surat ini.”
“Kiran..
jujur aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Aku ingin setiap saat menjadi
sahabatmu dan tertawa bersamamu.”
Rendi
menghentikan ucapannya. Dia mencoba menahan pilunya.
“Tapi Allah
berkehendak lain, Kiran. Mungkin Allah begitu menyayangi dirimu dan diriku
sehingga dia begitu menjaga kita agar tidak terus berdua. Aku dulu bocah
ingusan, yang tak tau apa-apa tentang hukum-hukum agama Allah. Tapi penyakit
ini membuat aku sadar banyak hal, Kiran.” ujar Rendi tersenyum.
“Kiran..
aku rindu pada ayah dan ibu yang kini ada di surga. Aku ingin bertemu mereka. Setiap
saat aku berdo’a semoga aku bersama-sama lagi dengan mereka. Yah, aku rasa
Allah akan mengabulkan do’aku, Kiran.”
“Apa yang
kamu bicarakan, Rendi? Sudahlah, kamu harus banyak istirahat. Kamu harus minum
obat dan terus berjuang melawan penyakitmu ini.”
Rendi hanya
tersenyum. Lalu ia memanggil kakaknya lirih. Kakaknya pun segera menghampiri
adik satu-satunya itu.
“Kak..
boleh aku berbisik?”
Kakaknya langsung
mendekatkan telinganya dengan mulut adiknya.
“Jaga
dirimu, kak. Dan tolong jaga Kiran.”
Rendi
tersenyum. Dia melihat Kiran teduh.
“Kamu,
perempuan pertama yang mewarnai hidupku setelah ibuku. Terima kasih, Kiran. Maaf
sudah menyakitimu.”
Perlahan Rendi
merasa nafasnya tersendat-sendat. Wajahnya semakin pucat. Ia menutup matanya
perlahan. Senyumnya terukir indah.
“Rendi, apa
yang terjadi? Rey, Rendi kenapa? Hey, Rendi bangun. Rendi...”
Rey
menangis. Sejak dulu adiknya menderita, kini ia merasa cukup lega karena
adiknya bebas dari penderitaan. Tapi kesedihan dalam hatinya melebihi rasa
leganya. Tangisnya pun tumpah begitu saja.
“Innalillahi
wa innailaihi roji’un.”
Kiran
menangis di samping Rendi. Ani memeluknya, menguatkannya. Pilu di hati Kiran
begitu dalam. Begitu lama ia merindukannya. Setelah bertemu, ia harus berpisah
lagi. Ya, berpisah untuk selamanya.
***
Satu bulan
berlalu. Kiran tidak ikut pergi ke pemakaman Rendi. Dia menutup diri dari
kebahagiaan. Dia selalu murung. Hari ini dia berziarah ke makam Rendi. Mungkin bisa
melepas rindu, pikirnya.
Dia berdzikir
dan menaburkan bunga di atas makam Rendi. Usai itu, dia ingat. Di hari terakhir
bertemu Rendi, dia mendapat surat dari Rendi. Dan surat itu dia simpan di tas yang
selalu digunakannya kemanapun, termasuk pergi berziarah saat ini.
Dia mencari
surat itu. Tertulis “Untuk Sahabatku.” Di depan surat itu. Dia segera
membukanya.
“Assalamu’alayku. Hai sahabatku, masih mengingatku? Hehehe..
ini Rendi, sahabatmu sejak dulu. Sahabatmu yang selalu mengingatkamu pada
bintang, sahabatmu yang sering tertawa bersamamu, dan sahabatmu yang
menyakitimu. Hehe. Saat membaca surat ini mungkin aku sudah kembali pada Yang Maha
Memiliki.
Maaf saat itu aku mengucapkan bahwa kamu bukan lagi
sahabatku. Itu hanya trikku agar kamu bahagia. Aku berfikir, penyakitku ini
akan membawaku cepat kembali pada Allah. Itu sebabnya aku meninggalkanmu, aku
gak mau kamu ngerasa sakit karena harus kehilangan sahabatmu ini. Aku ingin
membuatmu benci padaku sehingga jika aku pergi kamu gak akan ngerasa sakit,
Ran. Ah kau tau? Aku merasa bodoh atas keputusanku. Aku merindukanmu, Ran. Sangat
merindukanmu. Tapi keinginanku untuk membuatmu tetap tersenyum lebih besar dari
pada rasa rinduku.
Kiran aku kini lebih mengerti tentang islam. Ternyata Islam
melarang laki-laki dan perempuan berkhalwat alias berdua di satu tempat. Kamu
inget? Dulu kita sering berdua? Sering saling berpegang tangan? Ah betapa
salahnya sikap kita, Kiran. Itu juga membuatku ingin jauh darimu. Menjaga jarak
denganmu, karena aku tidak mau hubungan persahabatan kita menjadi jalan kita
berbuat dosa. Dan penyakit ini adalah jalanku untuk berubah, dan ku pikir
dengan mengucap hal kasar itu juga menjadi jalanmu untuk berubah juga untuk
bahagia.
Kiran, penyakit ini sangat membuatku sakit. Tapi ketika
aku ingat bahwa aku akan kembali pada Allah, Pemilikku, aku sangat senang. Ya..
nanti aku akan meminta pada-Nya untuk mempertemukan aku dengan ayah dan ibuku. Aku
juga akan meminta agar kamu selalu bahagia dan selalu berada di jalan-Nya. Aku
juga akan meminta pada-Nya, agar kakaku selalu baik-baik saja tanpa aku.
Hehehe. Kiran maafkan sahabatmu ini, ya. Yang harus
kamu tau, kamu gak pernah berhenti jadi sahabatku. Kamu tetap sahabatku, di
dunia hingga di akhirat.
Kiran.. terima kasih untuk banyak hal ya.. dan maafkan
aku untuk banyak hal pula. Ingat Kiran, tetaplah bahagia. Allah, Tuhan kita..
Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita.
Rendi.”
Kiran
meneteskan air mata atas apa yang baru ia baca. Ia tidak menyangka Rendi
melakukan itu semua. Memang benar
setelah berpisah dengan Rendi, Kiran lebih baik dalam mengetahui agama Islam. Tapi
dia tidak lebih baik atas putusnya persahabatannya dengan Rendi. Cukup lama dia
menangis, lalu dia melangkahkan kaki dengan berat. Memori tentang Rendi
terputar di otaknya begitu saja. Dan memori tentang ucapan Rendi juga terputar.
Ucapan yang sering dia ucapkan, yang juga di ucapkan di dalam surat itu..
“Kiran.. Tetaplah bahagia.”
Iya, itu
yang sering diucapkannya. Dan.. Kiran ingat, Rendi menambahkan sesuatu dalam
surat itu.
“Kiran, tetaplah bahagia. Allah, Tuhan kita.. Maha
Tahu apa yang terbaik untuk kita.”
Kiran
segera menyeka air matanya. Dia baru menyadari makna dari apa yang ditulis
Rendi. Iya, Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita. Dan semua yang terjadi
pada Kiran, adalah yang terbaik untuk Kiran.
“Semua sudah terjadi, semua sudah berlalu. Untuk apa
aku terus bersedih? Rendi benar, Allah, Tuhanku, Pemilikku, Dia Maha Mengetahui
apa yang terbaik untukku. Dan ini yang terbaik. Jika aku tidak menerima dan
terus bersedih, sama halnya aku tidak percaya bahwa Allah Maha Tahu apa yang
terbaik untukku. Aku harus bangkit, kembali tersenyum. Lagipula, Rendi akan
bersedih disana jika tau aku bersedih disini. Bismillah.. Ya Allah, maaf.. maaf
atas sikapku.. Dan aku mohon, tolong bimbing diriku agar lebih baik di
jalan-Mu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar