Hanya ingin menyalurkan hobi serta ingin berbagi, baik itu berbagi ilmu ataupun pengalaman hidup pada banyak orang:) semoga saja apa yang dibagikan ini bisa bermanfaat untuk para pembaca terutama untuk saya sendiri. Jika ada yang kesalahan dari tulisan saya, mohon bantuannya untuk bisa mengomentari. Terima kasih:) Selamat membaca! ^^

Rabu, 01 Juli 2015

Cerpen Pertama


Asyifa

Langkah kaki itu begitu lincah. Menggambarkan kegembiraan hati menjalani hari. Senyum mengembang di bibir gadis berwajah merah muda bak seorang puteri. Cantik sekali.
Periang, itulah sifatnya. Tak sedikitpun ia tampakkan kesedihan pada orang-orang di sekitarnya. Dia percaya bahwa jika dia menampakkan kebahagiaan, maka lingkungan sekitarnya juga akan menampakkan kecerahan. Begitupun jika dia menampakkan kesedihan, maka lingkungan sekitarnya juga akan menampakkan ketidak nyamanan. Itu yang selalu ia ingat, sehingga dimana pun ia berada, keceriaanlah yang selalu ia tampakkan.
Tapi, yang namanya manusia, dibalik kelebihan ada kelemahan dan dibalik kelemahan ada kelebihan. Dibalik periangnya Syifa, ada kesedihan yang tersembunyi. Tak ada yang tau kesedihan itu kecuali dirinya, ayah-ibunya, dan Allah Yang Maha Mengetahui.
“Asyifa! Mau kemana?” sapa Difia mengejutkan Syifa. Difia
“Ah kamu, Dif. Salam gitu kek, ini malah main kaget-kagetan. Gimana kalo aku kena serangan jantung?”
“Gila! Mana mungkin? Enggaklah Syifa” jawab Difia dengan nada cueknya.
“Eh ga ada yang gak mungkin, Dif. Jika Allah berkehendak, bisa saja itu terjadi padaku.”  Jawab Syifa dengan wajah kesal yang masih menempel di raut wajahnya.
“Iyadeh Syifa. Eh kamu mau kemana? Aku lihat tadi kamu buru-buru.”
“Astaghfirullah. Iya, Difia. Ah kamu sih ngalangin jalanku. Aku ada kepentingan dengan guru agama kita, Pak Samsudin. Mau diskusikan program baru untuk sekolah kita. Program benuansa Islam.” Jelas Syifa dengan senyum mengembangnya.
Syifa langsung pergi dengan melambaikan tangan pada Difia. Difia hanya melongo mendengarkan jawaban Syifa. ‘Program bernuansa Islam? Sejak kapan dia tertarik dengan program seperti itu? Bukankah yang dia sukai hanya music-musik pop yang bikin  galau ataupun bikin jingkrak-jingkrak sendiri? Bahkan sampai kelas 2 SMA pun dia masih belum menggunakan jilbab. Lalu apa yang membuat dia membuat program bernuansa islam?’
¾····¾
“Assalamu’alaykum, Pak Samsudin.”
“Wa’alaykumussalam wa rahmatullah. Asyifa? Ada kepentingan apa menemui saya?” Tanya Pak Samsudin keheranan. Seantero sekolah pun tau bahwa Syifa adalah wanita yang kurang tertarik pada Islam. Pak Samsudin juga tidak mengajar Mapel Pendidika Agama di kelas 2, jadi tidak mungkin akan bersangkutan dengan nilai.
“Maaf pak kalau saya ganggu waktu bapak. Saya ingin mengajukan program bernuansa Islam untuk sekolah ini, Pak.” Jawab Syifa dengan sedikit gugup.
Pak Samsudin tercengang mendengar perkataan Syifa, namun beliau berusaha untuk bersikap senormal mungkin. Jika Pak Samsudin menunjukkan sikap tak percayanya, khawatir Syifa akan merasa sakit hati dengan perlakuan seperti itu.
“Oh.. tentu boleh. Program apa?”
“Sebentar lagi kan ramadhan, Pak. Bagaimana jika setiap hari kamis sampai sabtu sekolah kita mengadakan pengajian bersama? Acaranya dimulai dengan tadarrusan lalu mengkaji Al-Qur’an. Di hari kamis dikhususkan untuk siswa kelas 10, sedangkan di hari jum’at dikhususkan untuk siswa kelas 11. Dan di hari sabtu dikhususkan untuk kelas 12. Mengingat di hari jum’at waktunya sebentar, maka acara pengajiannya dimulai dari jam 6 sampai jam 10. Dan ini juga berlaku untuk hari kamis dan sabtu. Nah nanti agar tidak bosan, jam setengan 9 semua siswa mendapat waktu istirahat sampai jam 9. Di waktu istirahat itu nanti akan tampil beberapa siswa yang bersedia untuk membawakan lagu religi secara solo. Mengapa saya menyarankan untuk membawakan lagu? Karena dengan music maka kita yang awalnya tampak kurang bahagia bisa menjadi lebih senang. Apalagi kalau lagu religi kan di dalamnya tersimpan nasehat-nasehat islami, jadi itu juga menambah wawasan siswa siswi tentang keislamian. Bagaimana menurut bapak?” jelas Syifa dengan penuh percaya diri.
“Em.. yayaya. Ide yang bagus. Saya akan mendiskusikan ide kamu kepada kepala sekolah untuk meminta persetujuan. Semoga ide kamu ini menghasilkan manfaat.” Respon pak Samsudin dengan senyum mengembang.
“Alhamdulillah. Iya pak Aamiin. Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya pamit. Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam wa rahmatullah.”
¾····¾
Seminggu berlalu. Ramadhan akan tiba 3 hari lagi. Program Syifa diterima oleh kepala sekolah. Pengumuman telah disebarkan pada seluruh siswa. Syifa merasa sangat senang karena programnya di terima oleh kepala sekolah. Entah bagaimana, di tahun ini, dia merasakan kebahagiaan dalam menyambut Ramadhan.
Syifa memang belum berjilbab. Tapi dia sangat ingin menggunakan jilbab. Hanya saja dia tak punya keberanian untuk menggunakannya. Dia yang selama ini dikenal cantik dengan rambut panjang yang bergelombang, wajah yang putih bercampur merah muda sehingga tampak begitu mempesona, lalu berganti menjadi wanita berjilbab? ‘Oh bagaimana caranya agar semua itu menjadi mudah?.’  Pertanyaan itu selalu mengiang setiap kali Asyifa mengingat keinginannya untuk berjilbab.
Tapi Asyifa mengalami sedikit perubahan, dia yang biasanya menggunakan baju yang cukup ketat sudah berubah menjadi Asyifa yang menggunakan baju longgar. Awal perubahan yang cukup baik. 
“Hello, Kak Amar! Bagaimana kabarmu?.” Celoteh Syifa dengan riang menghampiri sosok lelaki yang menjadi sahabatnya sejak SD. Seperti biasa, dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan sahabat lamanya itu. Jarak mereka kini hanya 1 meter
Amar merespon celoteh Syifa dengan memundurkan kakinya beberapa langkah sehingga jarak antara Syifa dan Amar kini cukup jauh, 5 meter!
“Aku baik, sahabatku.” Jawab Amar dengan melipat tangan di depan dada. Senyumnya mengembang.
Syifa hanya keheranan dengan sikap Amar. Amar yang ia kenal adalah Amar yang sangat dekat dengannya, seperti seorang adik. Setiap mereka berpisah atau bertemu, Amar memeluk Syifa seperti adiknya sendiri. Sekarang Amar malah menjauh dari Syifa? Syifa hanya mematung keheranan. Terakhir mereka bertemu adalah ketika perpisahan mereka, Syifa yang saat itu masih kelas 1 SMP mengantar Amar ke bandara. Dia akan melanjutkan sekolah SMAnya di sekolah bernuansa Islam, alias di pesantren. Dan saat itu Amar memeluk Syifa seperti adiknya sendiri. Syifa masih ingat ucapan Amar agar dia menjaga diri dengan baik. Tapi sekarang Amar malah menjauh.
“Ada apa dengan kakak? Ada yang kakak benci dari aku? Atau aku udah bikin kakak kesel? Kok kakak menjauh?.” Tanya Syifa dengan rasa heran yang bercampur takut. Takut jika seseorang yang dia anggap kakak membencinya.
“Enggak kok, Syifa. Aku akan member tahumu. Tapi tersenyumlah dulu, Syifa adikku adalah Syifa yang periang.” Ucap Amar menghibur Syifa.
Syifa memang gadis periang, tapi di depan Amar dia akan menangis jika kejadian yang dialaminya membuat ia takut kehilangan sesuatu yang sangat penting baginya. Kedekatan mereka sudah seperti saudara. Kadangkala mereka bertengkar namun kadang kala mereka akur.
Syifa dan Amar duduk di kursi taman. Jarak mereka masih sama seperti sebelumnya, 5 meter! Sungguh Amar sangat merindukan Syifa, tapi dia tak bisa memeluknyanya seperti masa lampau. Dia cukup mengenal banyak hal tentang Islam semenjak dia menempuh pendidikan di Pesantren. Sedangkan Syifa hanya diam tak berkata apapun. Sikap cerewetnya hilang seketika, dia merasa sedang duduk bersama orang asing.
“Lama gak ketemu kamu Syifa. Apa kabarmu?” ujar Amar memecah keheningan
“Baik, kak. Tapi tidak untuk saat ini.” Jawab Syifa menundukkan kepalanya.
“Syifa, kamu ingin tau kenapa aku tidak memelukmu bahkan tidak menerima uluran tanganmu?”
“Mungkin aku sudah tau. Pasti selama di pesantren kakak diajarkan banyak ilmu tentang Islam. Dan dalam Islam dilarang bersentuhan dengan seseorang yang bukanlah mahram kita. Tapi tak bolehkah hanya menjabat tangan dengan orang yang sudah sangat dekat dengan kita? Dan yang aku bingung kenapa kakak harus menjauh?” Jawab Syifa pelan.
“Gak boleh, Syifa. Sedekat apapun tetap tidak boleh bersentuhan dengan orang yang bukan mahram kita. Aku menjauh karena aku khawatir aku akan memelukmu seperti masa lampau. Walaupun kita sama-sama tau bahwa dalam Islam itu dilarang, tapi apa boleh buat jika syaitan mendorong kita menuju jurang penyesalan? Jujur aku kangen kamu, Asyifa. Aku ingin memeluk sahabat yang sudah seperti adikku. Jika kau mendekat padaku, bisa saja aku memelukmu karena aku kangen sama kamu. Tapi, aku ingat Allah, Syifa. Aku takut akan murka dari-Nya. Itu sebabnya aku menjaga jarak denganmu.”
Syifa meneteskan air matanya. Bukan karena tak bisa memeluk seorang lelaki yang sudah seperti kakaknya sendiri, tapi karena ia mengingat sudah berapa kali ia memeluk lelaki itu di masa lampau? Sudah berapa kali dia berpegangan tangan dengan laki-laki yang bukanlah muhrimnya? Entah ketika ada laki-laki yang menyatakan cintanya dengan memegang tangan Syifa sambil berlutut, atau ketika teman-teman lelakinya memanggil Syifa dengan memegang tangannya. Dia menangis di dekat Amar. Amar mengerti tentang apa yang dia sesali, karena Amar juga pernah merasakan penyesalan itu.
Suasana hening. Tak satupun dari mereka berbicara. Hanya suara tangisan Asyifa yang terdengar. Dan entah bagaimana awalnya. Ada darah yang keluar dari hidung Asyifa. Amar yang kebetulan menatap Asyifa langsung panik dengan keadaan Asyifa. Asyifa yang menyadari ada darah keluar dari hidungnya, langsung menghapusnya dengan sapu tangan kecil yang selalu dibawanya. Asyifa yang awalnya meyakinkan Amar bahwa dia baik-baik saja kini mulai terlihat lemas. Dia memegang kepalnya sambil menahan sakit yang teramat. Dan Asyifa pun tak sadarkan diri. Amar tak pikir panjang, dia membawa Asyifa ke rumah sakit. Dia khawatir sesuatu yang buruk telah menimpa Asyifa.
 “Dok, gimana keadaan Asyifa?” Tanya Amar khawatir
“Anda keluarganya?” Jawab dokter
“Em, iya saya kakaknya, dok.” Jawab Amar. Dia dan Asyifa sudah seperti saudara kandung, keluarga mereka pun sudah seperti saudara.
“Penyakit Asyifa sudah memasuki stadium 3. Prediksi kami, hidup Asyifa hanya dapat bertahan 6 bulan. Tapi kebenarannya hanya Allah yang tau.”
“Penyakit? Penyakit apa, dok?” Tanya Amar keheranan.
“Asyifa mengidap penyakit kanker otak.”
Setetes air mata mengalir melewati pipi Amar. Mengalir begitu saja. Dia tak pernah tau Syifa mengidap penyakit kanker. Sejak kapan? Dan kenapa Asyifa atau keluarga Asyifa tak memberi tau? Selama ini Asyifa selalu riang, tersenyum ketika bertemu Amar. Walaupun dia harus menangis itu karena permasalahan dengan nilai sekolah, teman, atau dengan sebuah penyesalan seperti di taman tadi. Amar hanya diam mematung dengan penjelasan dokter.
Ayah dan Ibu Asyifa datang setelah dokter pergi meninggalkan ruangan Asyifa. Mereka mendapati Amar sedang duduk di samping tempat tidur Asyifa. Dia tertunduk. Ayah dan Ibu Asyifa langsung mengerti apa yang terjadi pada Amar. Mereka bukan tidak mau memberi tau Amar, tapi Asyifa lah yang melarang mereka memberi tau Amar. Dia tak ingin kakaknya yang sedang mencari ilmu menjadi khawatir akan keadaannya.
Asyifa mulai membuka matanya. Ayah dan Ibunya langsung menghampirinya.
“Kalian? Ada apa dengan wajah kalian? Kok kayak gak mandi gitu.” Celoteh Syifa mengejutkan mereka.
“Kamu itu yang gak mandi, kecil.” Jawab Amar membalasnya dengan guyonan. ‘kecil’ adalah sebutan untuk Syifa karena wajahnya seperti seorang anak kecil.
“Eh kecil, sejak kapan kamu sakitnya?”
“Sakit? Aku gak sakit, kak. Aku baik-baik aja.”
“Ah udah lah kecil, kamu jangan banyak bicara dulu. Banyak istirahat ya.” Amar langsung berbalik pergi meninggalkan Syifa dan keluarganya. Dia tak ingin si kecil yang selama ini dia sayangi melihatnya menangis
Syifa hanya diam melihat sikap Amar. Yah Amar tak cukup kuat untuk mengetahui keadaan Syifa yang tiba-tiba saja ia ketahui memiliki penyakit parah. Pikirannya kacau. Tapi arah langkahnya sangat jelas, yaitu pergi ke Mushollah dekat rumah sakit Pelita.
¾····¾
“Ya Allah. Dia yang aku sayangi, kini Engkau memberinya ujian yang teramat berat. Bertahun-tahun hamba tidak bertemu dengannya, dan seketika pertama bertemu kembali, hamba mendapatinya memikul penyakit yang parah. Hamba selalu yakin dan percaya bahwa Engkau tak akan memberi ujian yang tak bisa dijalani oleh hamba-Mu. Asyifa adalah titipan dari-Mu sebagai seorang adik kecil yang mengisi hari-hariku. Maka dari itu, hamba mohon kuatkan hamba ketika suatu saat nanti Engkau mengambilnya untuk kembali pada-Mu. Karena dia adalah milik-Mu, Rabbi. Dan hanya kepada-Mu aku berserah diri.”
Itulah do’a Amar ketika usai melaksanakan sholat Dhuha di Mushollah. Dia memasrahkan segala hal pada Ilahi Rabbi.
¾····¾
Sudah 3 hari Asyifa dirawat di rumah sakit. Kondisinya mulai membaik. Namun rambutnya rontok setiap hari. Rambut yang awalnya sangat tebal kini sudah berkurang ketebalannya. Namun rambutnya tetap indah. Panjang bergelombang laksana seorang puteri kerajaan.
“Assalamu’alaykum, Asyifa. Nih aku bawain buah-buahan kesukaan kamu.” Sapa Amar mengawali pagi Asyifa.
“Wa’alaykumussalam kak Amar. Wah asyik nih! Makasih kak.” Jawab Asyifa senang
“Bagaimana kondisimu saat ini?”
“Mulai membaik, Kak. Eh kak, aku ada permintaan buat kakak.”
“Apa itu?”
“Aku minta kakak ngajarin aku untuk jadi wanita sholehah.”
“Em?.” Respon Amar keheranan.
“InsyaAllah, Syifa.” Lanjutnya dengan tersenyum lebar.
“Besok ajari aku mengaji dengan lebih fasih ya kak. Aku juga pengen kakak sedikit ngasih semacam ceramah gitu. Bisa kan kak? Kakak pasti bisa.”
“InsyaAllah, kecil. Sekarang kita siap-siap pulang ke rumah. Ibu dan ayahmu sudah menunggumu di luar.”
“Baiklah komandan….”
Asyifa berjalan sedikit tertatih karena kondisinya masih sedikit lemas. Amar yang menemaninya membantu si kecilnya berjalan.
“Assalamu’alaykum Ibu, Ayah.” Salam Syifa sambil lalu mencium tangan ibu dan ayahnya. Hal itu diikuti oleh Amar yang berada di belakang Syifa, tapi Amar hanya melipat tangan di depan dada sebagai salamnya pada Ibu Syifa.
“Kelihatannya anak ibu sudah sehat. Baiklah, sekarang kita akan pulang ke istana. Silahkan masuk mobil, tuan puteri.” Ujar Ibu Syifa merayu sekaligus memanjakan anak tunggalnya.
“Lagi-lagi ibu menggodaku.” Jawab Syifa dengan senyum manisnya.
Sesampainya di rumah, Asyifa langsung istirahat. Amar juga langsung pamit pada Syifa dan keluarganya untuk kembali ke rumahnya.
“Syifa besok jangan lupa jadwalmu adalah belajar mengaji!” Ujar Amar sedikit mengeraskan suaranya.
“Iya InsyaAllah, kak Amar.” Jawab Syifa tersenyum.
¾····¾
“Assalamu’alaykum.” Amar mengetuk pintu rumah Syifa.
Tak ada jawaban. Amar mengucap salam berkali-kali tapi masih tidak ada jawaban. Amar memilih untuk menunggu di teras rumah Syifa. 10 menit berlalu dan seseorang membukakan pintu untuk Amar.
“Wa’alaykumussalam, kak Amar. Maaf lama menunggu. Tadi masih ada sedikit persiapan untuk kegiatan hari ini. Ayah dan ibu keluar rumah. Jadi aku yang harus buka pintu.” Ujar Syifa panjang lebar.
Amar hanya diam. Asyifa yang dilihatnya saat ini adalah Asyifa berjilbab dengan jubah longgar. Si kecilnya terlihat sangat cantik dan anggun dengan pakaiannya. Namun Amar segera menundukkan pandangannya.
“Ayah dan Ibumu keluar rumah? Lalu kita hanya berdua?” Tanya Amar dengan keheranan.
“Oh tidak..tidak. aku sudah meminta salah seorang temanku untuk menemaniku belajar mengaji. Dia adalah Difia.”
“Alhamdulillah. Baguslah kalau seperti itu.”
Mereka pun memulai belajar mengaji. Kadang kala ketika pengucapan Syifa ataupun Difia keliru, Amar tertawa kecil karena mereka selalu saling menyalahkan ketika salah satu antara mereka salah dalam pengucapannya. Dan akhir-akhirnya mereka tidak jadi belajar tapi malah bertengkar.
Usai mengaji, Amar membagikan beberapa ilmu yang dia miliki tentang islam. Ilmu yang dia bagikan adalah tentang kewajiban wanita menutup aurat.
“Seorang wanita wajib menutup aurat. Mengapa? Selain untuk mentaati perintah Allah, hal itu juga bertujuan untuk menjaga kita dari keburukan, dari syahwat lelaki. Wanita yang tidak menutup auratnya akan lebih mudah diganggu oleh laki-laki dari pada wanita yang menutup auratnya. Contohnya saja di lingkungan sekolah kita, wanita yang tidak memakai menutup auratnya lebih mudah digoda oleh laki-laki, tapi wanita yang menutup auratnya sulit digoda laki-laki karena laki-laki merasa sungkan untuk mengganggu wanita yang menutup auratnya. Itulah tujuan Allah memerintahkan wanita menutup aurat. Agar wanita lebih terjaga. Selain itu juga agar wanita bisa menjadi pribadi Muslimah. Jadi ketika wanita menutupi auratnya, InsyaAllah dia juga akan terus emperbaiki akhlaknya.”
Asyifa hanya diam mendengar penjelasan Amar. Difia pun begitu. Mereka diam bukan karena merasa tersinggung, tetapi karena mereka sadar bahwa selama ini mereka berada di jalan yang salah. Amar berhasil menggugah hati mereka. Walaupun pada awalnya dia takut akan menyakiti hati mereka, tapi dia segera menepis pikiran negative itu. Dia yakin bahwa walaupun mereka tersinggung, setidaknya mereka menyeadari kesalahan yang harus mereka perbaiki.
¾····¾
Minggu demi minggu berlalu. Asyifa tak lagi seperti dulu. Ia tak lagi takut berubah menjadi Asyifa yang berjilbab dan berbaju longgar. Ia tak lagi peduli dengan popularitas sebagai gadis tercantik. Yang ia peduli adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Bodo amet teman-temannya bilang dia kurang keren kalo pake jilbab ataupun dia kurang oke kalo pakek jubah longgar, toh yang akan dia bawa ke hadapan Allah bukanlah pujian dari teman-temannya, melainkan amal yang ia lakukan di dunia.
Hidup Asyifa divonis 6 bulan lagi oleh dokter. Tapi jika Allah berkehendak, bisa saja dia hidup lebih dari jangka waktu itu. Walaupun Asyifa mengetahui tentang vonis dokter, dia tak pernah menyerah pada penyakitnya. Dia teteap menjadi periang. Meski terkadang tangan dan kakinya tak bisa digerakkan karena sakitnya. Dan dia menjadi lebih sering beribadah pada Allah.
Amar juga sering menemani Asyifa, menemani belajar ataupun berobat. Dia merawat adik kecilnya dengan baik dan telaten, tapi dia tetap menjaga sikap sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Dia tak menyentuh Asyifa, sekedar berpegangan tangan pun dia tak berani melakukannya. Asyifa yang mulai mengetahui Islam lebih dalam kini juga lebih menjaga dirinya, contohnya saja dia tak ingin hanya berdua dengan Amar, selalu ditemani oleh Ibu atau Ayah ataupun temannya, Difia.
Entah sampai kapan Asyifa menjalani hidupnya, ia memasrahkan hidup dan matinya pada Allah Yang Maha Kuasa. Yang harus dia lakukan selama ia masih hidup adalah terus memperbaiki diri untuk lebih dekat dengan Ilahi Rabbi. Dan selama ia hidup, ia akan tetap menjadi Asyifa si periang yang sholehah.

Karya : Nurul Fitriani Winarsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar