BAB V
Terungkap.
Hari demi hari berlalu. Mengganti
januari menjadi februari. Semua kepedihan kini sirna. Yang ada hanya bahagia. Meski
rahasia besar itu belum terkuak, tapi kehidupan Bulan dan Bintang menjadi lebih
berwarna dengan kedatangan Tio.
Dompet hitam itu
sebenarnya sudah kembali pada pemiliknya, hanya saja pemiliknya memberikan itu
kembali pada keluarga nenek, hanya SIM dan KTP saja yang diambilnya kembali,
sementara ATM dan beberapa uang diberikannya pada nenek. Kata Tio sih, sebagai
tanggung jawabnya pada Bulan. Setidaknya apa yang dia berikan sedikit mampu
mengurangi beban penyesalannya yang telah membuat Bulan lumpuh.
Akhir-akhir ini mereka
sering jalan bersama. Tapi untuk Minggu pagi ini Bulan dan Bintang memilih
untuk jalan-jalan berdua saja. Katanya sih, karena udah lama gak jalan bareng. Bulan
kini menggunakan kursi roda yang bisa ia kendalikan sendiri. Jadi tidak perlu
dorongan dari orang den lain lagi.
“Kak, kakak ingin jadi
pemain beasket internasional kan?.” Ucap Bintang tiba-tiba.
“Yap, dulu sih.” Jawab Bulan
tersenyum.
“Kalau sekarang?”
“Sekarang. Impiannya
pengen jadi penulis, penulis tentang apapun yang berhubungan dengan basket.
Hehehe.” Jawab Bulan cengingisan.
“Kalau gitu, aku yang
akan jadi pemain basket. Dan kakak yang nulis tentang kehidupanku.” Jawab Bintang
seraya melihat awan yang menghiasi langit biru.
“Emang kenapa kamu mau
jadi pemain basket?.” Tanya Bulan heran.
“Untuk mencapai impian
kakak yang musnah.” Jawab Bintang tersenyum.
“Impianku hanya satu,
menjadi orang yang bisa buat kakak dan nenek senang.” Lanjut Bintang polos.
Bulan hanya tersenyum
mendengar jawaban Bintang. Adiknya polos, tapi dibalik kepolosannya, ada kasih
sayang yang sangat besar untuk keluarganya.
“Aamiin. Semoga impian
kamu jadi pemain basket tercapai ya. Kalo impian kamu yang mau buat aku sama
nenek senang, kami udah sangat senang kok dengan adanya kamu di samping kami.”
Ujar Bulan tersenyum.
Rintik-rintik air mulai
berjatuhan ke bumi. Pelan, lalu cukup deras. Bintang langsung mendorong kursi
roda kakaknya agar bisa lebih cepat jalannya. Mereka berteduh dibawah halte
bus. Sepi, hanya segelintir orang saja yang lewat di tempat ini. Bulan dan
Bintang hanya diam. Ingatan mereka masih lekat memutar masa silam. Masa saat
Bulan ditbrak mobil, masa saat Bintang merasa sangat ketakutan, dan berbagai
masa lainnya yang cukup menyedihkan hati.
“Bulan! Bintang!” Teriak
Tio dari kejauhan. Ia melambai-lambaikan tangan pada Bulan dan Bintang melalui
kaca mobil yang sengaja dibukanya.
Bulan dan Bintang hanya
bisa melongo. Entah hal apa yang membuat om Tionya itu berteriak-teriak
seakan-akan ada yang ingin dia sampaikan. Hanya berselang 10 detik, Tio sudah
berada di depan halte bus yang dibuat tempat berteduh oleh Bulan dan Bintang. Dia
langsung membuka pintu mobilnya dan kedua anak itu.
“Kalian anakku.” Ujar Tio
membatin.
“Kita pulang yuk.” Ajak Tio
kemudian.
Bulan dan Bintang yang
masih dicerca rasa penasaran atas sikap Tio tadi hanya bisa mengangguk pelan.
Biasanya Tio tidak pernah berteriak di depan orang lain yang tidak dikenalnya. Tapi
kali ini dia berbreda.
***
Nenek tua itu tidur di
atas sofa dan terlihat sangat lelah.
“Nek..”
“Bulan dan Bintang udah
balik nih.”
Perlahan-lahan, si nenek
membuka matanya. Dia tersenyum melihat kedatangan kedua cucuknya.
“Bulan, Bintang, om Tio
mana?”
“Masih di toilet, Nek. Tapi
kok nenek bisa tau sih kalau ada om Tio?” Jawab Bulan lembut.
“Karena tadi dia ke rumah
dulu sebelum menemui kalian.”
“Oh ya? Om Tio ngomongin
apa tadi, Nek? Dia dateng-dateng ke kita kayak seneng banget, Nek.” Jawab Bulan
lagi.
“Em.. sudah saatnya
kalian tau. Ini...” ujar nenek seraya memberi tahukan foto yang disimpannya.
“Loh, ini kan foto ayah,
Nek? Kok sekarang ada dua sih fotonya?” tanya Bintang setelah melihat dua foto
yang diberi tahukan oleh neneknya.
“Iya.. satu milik Om Tio.”
Keduanya kaget. Satu foto
itu milik Tio berarti Tio adalah ayah yang selama ini mereka cari. Keduanya tak
bisa menjawab apapun. Ada rasa kesal, kecewa, namun juga senang yang bergemuruh
di dalam hati mereka.
“Kalian memang bukan cucu
kandungku, tapi aku sangat menyayangi kalian. Sekarang aku senang karena aku
sudah bisa memenuhi janji pada nenek kandung kalian, yaitu nenek akan menemukan
ayahmu dalam kondisi apapun. Dia hanya memberi selkembar foto usang saat itu,
foto kecil ayahmu. Nenekmu bilang, dia gak punya foto anaknya lagi. Hanya foto
ketika ia kecil itu yang ada.” Jelas nenek pada Bulan dan Bintang
“kecelakaan yang dialami
nenekmu membuat ia kembali pada Allah. Maaf aku baru menceritakan ini, aku
cukup takut menyampaikan semuanya karena aku takut kalian kecewa. Dan...”
Penjelasan nenek terpotong karena hadirnya Tio.
“Hei. Pada ngapain nih? Serius
banget ngomongnya?” ujar Tio tiba-tiba.
Tak ada respon, semuanya
hanya diam. Namun beberapa detik setelah keheningan itu terjadi, Bintang
langsung pergi dari tempatnya semula dan langsung menghambur pada pelukan Tio. Dia
menangis, rindu pada sosok ayah yang selama ini dicarinya. Bulan pun mulai
menangis. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan ayahnya dalam kondisi seperti
ini dan bahkan ayahnya yang membuat dia seperti itu.
“Heeei, kenapa kalian
menangis? Tersenyumlah. Aku sudah disini bersama kalian.” Ujar Tio seraya
menghapus air mata Bintang.
“Om jahat. Kenapa om baru
dateng? Kenapa gak dari dulu jemput kita?” tanya Bintang yang masih erat dalam
pelukan Tio.
“Sayang, dengerin om. Saat
kalian masih kecil, om pergi ke kota orang untuk mencari nafkah. Ibumu sakit-sakitan
sehingga yang mengurusmu adalah nenekmu. Selama di kota orang, om mengalami
kecelakaan dan om lupa ingatan. Saaat itu om diasuh oleh keluarga kaya yang
sangat baik hati. Om tidak ingat apapun saat itu. Namun bertahun-tahun berlalu,
om mengalami kecelakaan lagi. Dan ingatan om kembali.” Papar Tio
“Om langsung kembali ke
desa, tapi om terlambat. Ibu sudah meninggal, nenekmu pun juga begitu. Om mencari-cari
kalian, tapi tak ada warga desa sekitar yang tau kalian dititipkan pada siapa.
Dulu usia Bulan masih 2 tahun, sedangkan usia Bintang masih 6 bulan. Kalian masih
sangat kecil saat itu jadi tidak hafal pada wajah ayahmu ini. Maafin Om yah..’
Lanjut Tio penuh rasa sesal.
Suasana hening. Hanya isak
tangis yang menjadi melodi. Semuanya sudah terungkap. Nenek tua itu lega. Dia memilih
hanya menjadi penonton bisu akan satu episode hidup cucu-cucunya.
“Ayah, jangan pergi lagi.”
Ujar Bintang lembut.
“Pasti.” Jawab Tio lirih.
“Nek, kami memang kecewa
karena nenek baru menceritakan ini pada kami. Tapi meski kami kecewa, kami
tetap sayang sama nenek. Terima kasih sudah mau merawat kami, Nek. Kami akan
tetap jadi cucu nenek, kan?” Ujar Bulan halus.
“Tentu. Kalian akan
selalu menjadi cucu nenek.”
Semuanya tersenyum haru,
mereka berkata, hidup memang indah. Meski banyak derita, tapi masih lebih
banyak bahagia. Betapa senangnya mereka yang saling menemukan apa yang saling
dicari. Impian Bulan Bintang pun kini menjadi nyata, karena satu-satunya impian
yang sangat ingin mereka dapatkan adalah dapat bertemu dengan sosok ayah yang
selama ini mereka rindukan.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar