I
Impian Yang Sirna
Lagi-lagi hari ini dipertemukan dengan hujan. Titik-titik kecil kadang mendarat di wajah. Entah kenapa, hujan selalu indah. Memiliki memori-memori istimewa. Air yang menghujam bumi seakan-akan melampiaskan semua kepenatan.
"Kak, hujan itu indah ya?" Ujar gadis kecil berambut pirang
"Ehem." Jawab singkat seorang gadis berjilbab.
Keduanya melihat ke atas, ya ke langit sana. Air turun dengan indah, menenngkan hati.
"Kak, main hujaan yuk." Ujarnya dengan senyum sumringah.
"Main hujan? Boleh. Yuk!" Jawab kakaknya semangat.
Keduanya bermain senang, berlari-lari tanpa beban.
"BRUKKK"
Suara keras itu membuat keduanya berhenti bemain. Gadis berambut pirang itu langsung menangis histeris, sekarang kakaknya terlentang di jalanan. Ia tak sadarkan diri, terdapat bercak-bercak merah di di bagian rok yang menutupi kakinya. Dahinya pun kini dihiasi bercak-bercak merah.
"Kakak bangun. Kakak..."
Orang-orang langsung berdatangan. Tak ada yang pedulikan hujan, semua perhatian hanya tertuju pada sosok gadis berjilbab yang kini tak sadarkan diri.
Begitu pula dengan sosok lelaki yang keluar dari mobil mewah yang baru saja menabrak gadis itu. Ada kekhawatiran di dalam wajahnya, tanpa pikir panjang pun dia langsung menggendong gadis itu ke dalam mobilnya. Ia letakkan tubuhnya di kursi kedua. Sedangkan gadis berambut pirang itu langsung mengambil tempat duduk di samping lelaki itu.
***
"Dokter, gimana keadaanya?"
"Dia mengalami kelumpuhan, Pak. Mungkin karena benturan yang cukup keras pada kakinya."
Tanpa berkata apapun, bintang langsung memasuki ruang UGD. Sedangkan lelaki itu hanya mengucapkan terima kasih pada dokter dan menyusul gadis berambut pirang itu ke dalam UGD.
"Kak.. maafin aku ya." Ujar Bintang lirih.
"Gara-gara aku ajak kakak main hujan kakak jadi ketabrak mobil." Lanjutnya yang mulai meneteskan air mata.
"Bukan kamu yang salah kok, om yang salah. Maafin om ya, Nak." Ucap lelaki itu seraya mengelus rambut pirang Bintang.
"Om jahat, om udah buat kak Bulan sakit." Jawab Bintang menepis tangan lelaki itu.
"Maaf, om gak sengaja. Kalian berlari-lari dan air-air hujan itu membuat kaca mobil om menjadi buram." Ujarnya menyesal.
"Dek.. bintang.." suara lirih mulai terengar dari mulat Bulan.
"Kakak. Kak, Bintang disini." Jawab Bintang senang.
"Dek, kaki kakak gak bisa digerakin. Kakak kenapa?"
"Kak... kaki kakak lagi istirahat. Udah jangan dipaksa gerak ya." Jawab Bintang polos.
"Kakak lumpuh ya?" Tanya Bulan dengan mata yang mulai menetskan air mata.
Hening, tak ada yang berani bersuara. Hanya anggukan kecil dari Bintang yang mewakili jawaban dari pertanyaan Bulan.
Tangis Bulan pecah, tak disangka ia akan mengalami kecelakaan ini. Rasanya ia ingin protes pada Tuhan. Ketika impiannya hampir saja tercapai, kini dia harus lumpuh.
"Dek, kompetisi basket minggu depan.. aku.. aku.. gak bisa ikut."
"Kak, yang sabar yaa." Ujar Bintang yang kemudian memeluk Bulan.
"Tinggal selangkah lagi untuk go internasional dek. Sekarang semuanya tumpas. Kenapa Allah seperti ini, dek." Lanjut Bulan bercampur kesal
"Sssstttt.. jangan salahkan Allah. Manusia cuma bisa memperkirakan yang terbaik, tapi yang tau mana yang benar-benar terbaik adalah Allah." Ujar Bintang seraya menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Bulan.
"Itu yang selalu kakak ingatkan padaku. Jangan menangis kak." Lanjut Bintang yang semakin erat memeluk Bulan..
"Astaghfirullah.. astaghfirullah.. astaghfirullah.." lirih Bulan berusaha menenangkan diri. Ia memang sangat sedih dengan ketetapan Allah kali ini, tapi dia tidak ingin menjadi orang yang menyalahkan Allah. Itu bisa membuat dia jatuh pada keburukan.
Sedangkan lelaki itu hanya diam melihat kakak adik di hadapannya. Terdapat rasa sesal yang mendalam dalam dirinya.
"Aku menghancurkan masa depannya. Aku menghancurkan impiannya. Lagi, aku melakukan kesalahan yang sama lagi." Ucap lelaki itu membatin.
Bersambung..
Nurul Fitriani Winarsih ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar