Hanya ingin menyalurkan hobi serta ingin berbagi, baik itu berbagi ilmu ataupun pengalaman hidup pada banyak orang:) semoga saja apa yang dibagikan ini bisa bermanfaat untuk para pembaca terutama untuk saya sendiri. Jika ada yang kesalahan dari tulisan saya, mohon bantuannya untuk bisa mengomentari. Terima kasih:) Selamat membaca! ^^

Selasa, 15 Maret 2016

Rindu yang Ditakdirkan-Nya

Rindu yang Ditakdirkan-Nya

Malam yang tenang.
Berteman cahaya bintang dan bulan.
Pena ini terus berjalan.
Menorehkan tinta hitam di atas lembaran putih.
Seulas senyum aku torehkan.
Teringat sosok sahabat yang mengingatkanku pada indahnya bintang.
Sahabat yang mengajariku banyak hal.
Sahabat yang menjagaku.
Sahabat yang kini aku tak tau bagaimana kabarnya.
Sahabat yang kini telah begitu jauh.
Iya, sahabat kini telah pergi..

Jemari-jemari Kiran begitu lancar mengulas aksara di atas kertas putih. Dalam wajahnya tersirat kerinduan yang dalam, juga keikhlasan yang membahagiakan. Sejanak ia berhenti menorehkan tinta, ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Air matanya ada di perbatasan, selangkah lagi ia melangkah, ia akan terjun di atas pipi lembut Kiran.

Bersama bintang aku tersenyum.
Bersama rembulan aku bahagia.
Meski aku tak tau kemana perginya.
Tapi aku juga ingat dirinya telah memberi warna dalam hidupku.
Pernah aku mencarinya.
Sering bahkan.
Tapi kau tau apa yang diucapkannya?
Dia berucap, “aku bukan lagi sahabatmu.”

Sukses! Memori yang ia putar telah sukses membuatnya lag-lagi menurunkan air matanya. Ia tak tau apa salahnya. Sahabatnya tak pernah memberi tahu apa alasan dia perfi.

Sakit..
Kau tahu? Perkataannya membuat tubuhku seakan-akan tak kuat berdiri.
Tapi apa kau juga tahu?
Aku bahagia dengan itu.
Aku torehkan senyum dihadapannya.
Kau tahu apa yang membuatku bahagia?
Dia..
Dia yang dengan lega mengucap aku bukan lagi sahabatnya.
Dia yang dalam wajahnya tersimpan rona bahagia untuk tidak lagi menjadi sahabatku.
Ya dia bahagia..
Sehingga aku pun bahagia.
Lagi-lagi senyum itu ku torehkan.
Bersama guratan pena di atas dirimu, duhai lembar putih.

Kiran menyeka air matanya. Ia menutup diari hijau tuanya dengan senyum yang masih menemaninya. Rasa rindu yang awalnya tak bisa tertahan, kini semua telah tumpah pada sebuah diari hijau tua. Lalu ia menatap langit.
“Ya Allah.. tolong jaga sahabatku disana.” Lirihnya pelan.

***
Surat-surat lusuh itu berjejer di dinding-dinding kamar Kiran. Warnanya menguning, umurnya cukup tua.
“Kamu masih menyimpan ini, Kiran?”
“Iya, An. Bagaimanapun dia sahabatku.”
“Sebegitu mudahnya kamu berucap dia sahabat, padahal dirinya begitu mudah mengucap kamu musuh.”
“Bukan musuh Ani, dia hanya tidak menganggapku sahabatnya lagi.”
“Ah, terserah kamu saja lah.”
Ani, sepupunya yang telah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Mereka sering bersama, suka dan duka pun mereka bersama.
“Bagaimana jika kamu bertemu dengannya?.”
“Aku.. aku hanya akan tersenyum saja. Dia mengucap aku bukan sahabatnya ketika dia masih bocah, An. Sekarang kami sudah dewasa. Tak pantas lagi saling bertengkar seperti dulu.”
“Bocah? Usia 15 tahun kamu bilang bocah? Bocah yang seperti apa, Ran? Bocah ingusan atau bocah yang sudah mengerti banyak hal seperti apa yang dimengerti oleh para orang dewasa?”
“Ah, Anggap saja bocah ingusan.”
“Kamu masih saja menghindar dari kenyataan.”
Kiran hanya diam tak bergeming. Ia merasa apa yang diucapkan sahabatnya benar. Ya, benar. Dia selalu menghindar dari kenyataan bahwa sahabat yang meninggalkannya dulu adalah sahabat yang sudah mengerti banyak hal, bukan seorang sahabat yang bocah ingusan.
“Besok aku mau ke gramedia, kamu mau ikut?”
“Tentu. Ah, kamu tau sendiri aku suka membaca buku, Kiran!”
“Baiklah. Pulang sekolah besok kita langsung ke gramed, oke?”
“Siap, Kiran!”
***
“Kiran, lihat buku ini sepertinya bagus sekali. Ah banyak sekali buku yang bagus.” Ujar Ani yang di tangannya telah bertumpuk beberapa buku.
“Ani, sudah banyak buku yang ada di tanganmu, apa kamu akan membeli buku yang lain lagi?”
Ani tak menjawab, ia sibuk mencari-cari buku lain untuk dibelinya.
“Ani, udah cukup buku ini saja dulu. Jika sudah selesai membaca kamu boleh beli buku yang lain.”
“Kiran, aku hanya akan mencari satu buku lagi. Jadi lengkap aku beli 10 buku.”
“Ah terserah kamu saja. Cepatlah, aku menunggumu di kasir.”
“Tidak, Kiran. Kau harus membantuku membawa buku-buku ini.”
“Ah, baiklah.. baiklah.”
Usai mereka membayar semua buku yang dibeli, mereka segera pulang ke rumah. Namun langkah mereka terhenti, Kiran melupakan satu buku untuk dibeli. Dia kembali ke gramedia dan langsung mencari buku yang ia cari.
“Ini dia!.” Ujar Kiran senang.
“Kiran?” Ujar sosok lelaki yang mengahampiri Kiran.
Kiran menoleh ke arah lelaki itu. Dia terperanjat melihatnya.
“Kamu masih mengingatku, Kiran?”
“Ya.. tentu.. tentu aku masih mengingatmu.”
“Mau bicara sebentar bersamaku?”
“Tidak, aku harus pergi. Lain waktu saja, Rey.”
Kiran beringsut secepat kilat. Rey mengejarnya. Entah apa yang membuat lelaki itu mengejar Kiran. Di wajahnya tersirat ada hal penting yang ingin disampaikannya. Mengetahui Rey mengejar Kiran, ia semakin mempercepat langkahnya. Ia segera membayar buku yang baru dia ambil dan dia menarik tangan Ani yang sejak tadi menunggu di depan pintu gramedia.
“Ada apa, Kiran?”
“Kita harus berlari secepat mungkin. Rey mengejar kita.”
“Stop, Kiran!”
“Apa yang kamu lakukan, Ani? Ayo kita harus terus berlari.”
“Apa yang kamu inginkan, Kiran? Dia saudaranya, bukan? Kamu merindukannya sekian lama tapi setelah bertemu dengan saudaranya kamu malah menghindar sekuat tenaga? Apa-apaan ini Kiran? Ini kesempatanmu untuk bertanya mengapa adiknya meninggalkanmu. Kita akan menunggu dia disini.”
“Mengertilah, Ani..”
“Kamu yang harus mengerti. Dia mengejarmu pasti karena suatu hal yang penting. Berhenti bertindak seperti anak kecil, Kiran.”
Kiran lalu terdiam. Dia menunduk. Bahkan dirinya snediri tak mengerti apa yang membuat dia tak karuan. Dia bilang rindu, ikhlas, tapi ketika bertemu semua menjadi benci.
“Kiran. Aku ingin bicara.” Ujar Rey yang berhasil menemukan jejak Kiran.
“Bicaralah.” Ujar Ani yang kemudian mendekati Kiran. Ia memegang tangan Kiran, menguatkannya.
“Maaf atas ucapan adikku 3 tahun lalu. Maafkan dia, Kira. Tolong maafkan dia.”
“Rey, selama ini aku gak tau apa salahku padanya. Bisa kau jelaskan? Aku hanya ingin tau alasannya saja.”
“Ini alasan dia bersikap seperti itu padamu, Ran.” Ujar Rey seraya menyerahkan surat yang warnanya juga menguning.
Kira membuka surat itu. Ia cukup heran dengan suar itu. Surat yang biasa dia lihat di TV setelah seseorang melakukan pemeriksaan. Dia terperanjat ketika melihat nama sahabatnya positif mengidap penyakit leukimia.
Air mata Kiran menetes dengan begitu saja. Ani pun tak kuat menahan harunya.
“Rey, pertemukan aku dengan adikmu.”
Rey hanya mengangguk. Kiran tidak butuh penjelasan lebih banyak lagi. Dia hanya ingin bertemu sahabatnya saat ini. Mobil jazz berwarna merah meluncur dengan cepat. Arahnya jelas, rumah Rey!
“Ren.. ada yang mau bertemu denganmu.”
Sosok lelaki kurus berbaring tak berdaya di atas kasur empuk yang dibalut sprai abu-abu tua. Kepalanya tak lagi berhias rambut hitam. Wajahnya pucat.
“Assalamu’alaykum, Rendi.”
Rendi membuka matanya perlahan. Samar-samar dia melihat sosok perempuan canitk berjilbab biru, warna kesukaannya. Perlahan ia melihat wajah perempuan itu dengan jelas.
“Kiran...” Ujarnya yang kemudian meneteskan air matanya.
“Kenapa kamu kesini? Aku gak pantes ketemu kamu lagi.” Lanjutnya lirih.
“Apa sahabatmu tidak pantas menjengukmu?”
“Sahabat? Siapa yang kamu maksud sahabat?”
“Berhentilah menyembunyikan semuanya, Rendi.” Ujar Rey kesal.
“Aku ingin istirahat. Kalian pergilah.”
“Tapi, Ren..”
“Sudahlah, Kiran. Kita pergi saja. Dia bukan sahabatmu lagi. Kamu tidak pantas menjenguknya.”
Kiran terkejut dengan jawaban Rey, begitupun dengan Ani. Dan dengan berat hati mereka keluar dari kamar Rendi.
“Tunggu, kak.” Ujar Rendi kemudian.
“Kiran bisakah kamu duduk disampingku?.” Lanjutnya lirih.
Kiran lalu melangkah ke arah Rendi. Sedangkan Rey dan Ani menunggu di pintu kamar Rendi yang masih tak tertutup.
Rendi menatap Kiran lekat. Matanya mengisyaratkan seakan-akan ada perih yang disimpannya. Dia mengambil satu surat di bawah bantalnya dan memberinya pada Kiran. Kiran tak mengerti surat apa yang dia berikan.
“Semua pertanyaanmu akan terjawab dalam surat ini.”
“Kiran.. jujur aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Aku ingin setiap saat menjadi sahabatmu dan tertawa bersamamu.”
Rendi menghentikan ucapannya. Dia mencoba menahan pilunya.
“Tapi Allah berkehendak lain, Kiran. Mungkin Allah begitu menyayangi dirimu dan diriku sehingga dia begitu menjaga kita agar tidak terus berdua. Aku dulu bocah ingusan, yang tak tau apa-apa tentang hukum-hukum agama Allah. Tapi penyakit ini membuat aku sadar banyak hal, Kiran.” ujar Rendi tersenyum.
“Kiran.. aku rindu pada ayah dan ibu yang kini ada di surga. Aku ingin bertemu mereka. Setiap saat aku berdo’a semoga aku bersama-sama lagi dengan mereka. Yah, aku rasa Allah akan mengabulkan do’aku, Kiran.”
“Apa yang kamu bicarakan, Rendi? Sudahlah, kamu harus banyak istirahat. Kamu harus minum obat dan terus berjuang melawan penyakitmu ini.”
Rendi hanya tersenyum. Lalu ia memanggil kakaknya lirih. Kakaknya pun segera menghampiri adik satu-satunya itu.
“Kak.. boleh aku berbisik?”
Kakaknya langsung mendekatkan telinganya dengan mulut adiknya.
“Jaga dirimu, kak. Dan tolong jaga Kiran.”
Rendi tersenyum. Dia melihat Kiran teduh.
“Kamu, perempuan pertama yang mewarnai hidupku setelah ibuku. Terima kasih, Kiran. Maaf sudah menyakitimu.”
Perlahan Rendi merasa nafasnya tersendat-sendat. Wajahnya semakin pucat. Ia menutup matanya perlahan. Senyumnya terukir indah.
“Rendi, apa yang terjadi? Rey, Rendi kenapa? Hey, Rendi bangun. Rendi...”
Rey menangis. Sejak dulu adiknya menderita, kini ia merasa cukup lega karena adiknya bebas dari penderitaan. Tapi kesedihan dalam hatinya melebihi rasa leganya. Tangisnya pun tumpah begitu saja.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un.”
Kiran menangis di samping Rendi. Ani memeluknya, menguatkannya. Pilu di hati Kiran begitu dalam. Begitu lama ia merindukannya. Setelah bertemu, ia harus berpisah lagi. Ya, berpisah untuk selamanya.
***
Satu bulan berlalu. Kiran tidak ikut pergi ke pemakaman Rendi. Dia menutup diri dari kebahagiaan. Dia selalu murung. Hari ini dia berziarah ke makam Rendi. Mungkin bisa melepas rindu, pikirnya.
Dia berdzikir dan menaburkan bunga di atas makam Rendi. Usai itu, dia ingat. Di hari terakhir bertemu Rendi, dia mendapat surat dari Rendi. Dan surat itu dia simpan di tas yang selalu digunakannya kemanapun, termasuk pergi berziarah saat ini.
Dia mencari surat itu. Tertulis “Untuk Sahabatku.” Di depan surat itu. Dia segera membukanya.
“Assalamu’alayku. Hai sahabatku, masih mengingatku? Hehehe.. ini Rendi, sahabatmu sejak dulu. Sahabatmu yang selalu mengingatkamu pada bintang, sahabatmu yang sering tertawa bersamamu, dan sahabatmu yang menyakitimu. Hehe. Saat membaca surat ini mungkin aku sudah kembali pada Yang Maha Memiliki.
Maaf saat itu aku mengucapkan bahwa kamu bukan lagi sahabatku. Itu hanya trikku agar kamu bahagia. Aku berfikir, penyakitku ini akan membawaku cepat kembali pada Allah. Itu sebabnya aku meninggalkanmu, aku gak mau kamu ngerasa sakit karena harus kehilangan sahabatmu ini. Aku ingin membuatmu benci padaku sehingga jika aku pergi kamu gak akan ngerasa sakit, Ran. Ah kau tau? Aku merasa bodoh atas keputusanku. Aku merindukanmu, Ran. Sangat merindukanmu. Tapi keinginanku untuk membuatmu tetap tersenyum lebih besar dari pada rasa rinduku.
Kiran aku kini lebih mengerti tentang islam. Ternyata Islam melarang laki-laki dan perempuan berkhalwat alias berdua di satu tempat. Kamu inget? Dulu kita sering berdua? Sering saling berpegang tangan? Ah betapa salahnya sikap kita, Kiran. Itu juga membuatku ingin jauh darimu. Menjaga jarak denganmu, karena aku tidak mau hubungan persahabatan kita menjadi jalan kita berbuat dosa. Dan penyakit ini adalah jalanku untuk berubah, dan ku pikir dengan mengucap hal kasar itu juga menjadi jalanmu untuk berubah juga untuk bahagia.
Kiran, penyakit ini sangat membuatku sakit. Tapi ketika aku ingat bahwa aku akan kembali pada Allah, Pemilikku, aku sangat senang. Ya.. nanti aku akan meminta pada-Nya untuk mempertemukan aku dengan ayah dan ibuku. Aku juga akan meminta agar kamu selalu bahagia dan selalu berada di jalan-Nya. Aku juga akan meminta pada-Nya, agar kakaku selalu baik-baik saja tanpa aku.
Hehehe. Kiran maafkan sahabatmu ini, ya. Yang harus kamu tau, kamu gak pernah berhenti jadi sahabatku. Kamu tetap sahabatku, di dunia hingga di akhirat.
Kiran.. terima kasih untuk banyak hal ya.. dan maafkan aku untuk banyak hal pula. Ingat Kiran, tetaplah bahagia. Allah, Tuhan kita.. Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita.

Rendi.”

Kiran meneteskan air mata atas apa yang baru ia baca. Ia tidak menyangka Rendi melakukan itu semua.  Memang benar setelah berpisah dengan Rendi, Kiran lebih baik dalam mengetahui agama Islam. Tapi dia tidak lebih baik atas putusnya persahabatannya dengan Rendi. Cukup lama dia menangis, lalu dia melangkahkan kaki dengan berat. Memori tentang Rendi terputar di otaknya begitu saja. Dan memori tentang ucapan Rendi juga terputar. Ucapan yang sering dia ucapkan, yang juga di ucapkan di dalam surat itu..
“Kiran.. Tetaplah bahagia.”
Iya, itu yang sering diucapkannya. Dan.. Kiran ingat, Rendi menambahkan sesuatu dalam surat itu.
“Kiran, tetaplah bahagia. Allah, Tuhan kita.. Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita.”
Kiran segera menyeka air matanya. Dia baru menyadari makna dari apa yang ditulis Rendi. Iya, Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita. Dan semua yang terjadi pada Kiran, adalah yang terbaik untuk Kiran.
“Semua sudah terjadi, semua sudah berlalu. Untuk apa aku terus bersedih? Rendi benar, Allah, Tuhanku, Pemilikku, Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untukku. Dan ini yang terbaik. Jika aku tidak menerima dan terus bersedih, sama halnya aku tidak percaya bahwa Allah Maha Tahu apa yang terbaik untukku. Aku harus bangkit, kembali tersenyum. Lagipula, Rendi akan bersedih disana jika tau aku bersedih disini. Bismillah.. Ya Allah, maaf.. maaf atas sikapku.. Dan aku mohon, tolong bimbing diriku agar lebih baik di jalan-Mu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar